Petualangan Minggu di Gunung Budeg: Menyatu dengan Alam di Kabupaten Tulungagung
Oleh: Eni
Setyowati
Minggu kemarin
menjadi hari yang tak terlupakan bagi saya dan suami ketika kami memutuskan
untuk mendaki Gunung Budeg, sebuah destinasi alam yang memesona di Kabupaten
Tulungagung. Meski bukan gunung yang terlalu tinggi, Gunung Budeg menawarkan
pengalaman petualangan yang memikat hati, menantang fisik, sekaligus
menyegarkan jiwa. Persiapan sudah kami siapkan sehari sebelumnya.
Perjalanan dimulai pagi hari dengan
semangat yang menggebu. Udara segar dan suasana pedesaan sekitar gunung membawa
ketenangan. Jalur pendakian yang kami lalui cukup bervariasi - dari
lorong-lorong rimbun pepohonan hingga medan berbatu yang menuntut kehati-hatian
ekstra. Suami saya, menjadi pemandu sekaligus sumber motivasi utama bagi saya
yang masih pemula dalam dunia hiking.
Saat berjalan, kami bertemu dengan
kelompok pendaki lain yang ramah, saling menyapa. Satu hal yang membuat
perjalanan makin berwarna adalah keindahan flora khas gunung ini. Mendaki
gunung bukan hanya soal mencapai puncak, melainkan juga tentang perjalanan
menemukan diri sendiri dan belajar banyak dari alam yang luas. Perjalanan saya
mendaki Gunung Budeg, menjadi pengalaman berharga penuh pelajaran dan tantangan
unik yang menarik.
Gunung Budeg terletak di kawasan yang
relatif masih asri dan alami, dengan ketinggian sekitar 585 meter di atas
permukaan laut. Karakteristik medan yang bervariasi mulai dari hutan lebat,
jalur berbatu, hingga padang rumput di dekat puncak, memberi saya gambaran
betapa beragamnya ekosistem gunung ini. Sebagai seorang pendaki pemula, saya
merasakan pentingnya kesiapan fisik dan mental dalam menghadapi kondisi alam
yang dinamis. Selain unsur petualangan, perjalanan ini juga membuka mata
tentang keanekaragaman hayati. Berbagai jenis flora seperti pohon dan fauna
endemik seperti monyet yang saya temui menunjukkan betapa pentingnya konservasi
habitat seperti Gunung Budeg demi kelestarian alam.
Dalam konteks ilmiah, mendaki Gunung Budeg
menguji ketahanan fisik dan psikologis manusia. Penelitian menunjukkan bahwa
aktivitas mendaki dapat meningkatkan kebugaran kardiovaskular, menurunkan
stres, dan membantu membangun karakter disiplin serta kesabaran. Perjalanan
menuju puncak tidak selalu mulus. Ada saat-saat lelah dan hampir menyerah,
namun dukungan dari suami dan keindahan alam menjadi motivasi kuat.
Saat akhirnya tiba di puncak, pemandangan
menakjubkan dari lembah dan pegunungan sekitar memberikan perasaan bangga
sekaligus syukur - sebuah hadiah dari perjuangan dan ketekunan. Perasaan bangga
dan puas sangat menyelimuti. Kami duduk bersama menikmati bekal sederhana - air
mineral dan suwar-suwir (oleh-oleh khas Jember), sementara mata kami menatap
cakrawala yang luas, melihat pegunungan dan desa-desa di kejauhan. Udara dingin
dan segar yang berhembus membuat tubuh terasa ringan meski baru saja melewati
medan yang cukup berat. Pengalaman ini tidak hanya menjadi kenangan pribadi,
tapi juga bahan refleksi penting tentang hubungan manusia dengan alam dan
bagaimana menjaga keseimbangan lingkungan di tengah perkembangan zaman.
Di tengah perjalanan, ada satu momen yang
tak akan saya lupakan. Saat kami melewati bukit berbatuan dengan tebing
disekitarnya, saya hampir saja menangis karena rasa takut yang tak terkira.
Dengan semangat, tekad, dan motivasi suami, akhirnya sayapun berhasil melewati
tebing berbatu tersebut, meskipun harus merangkak. Momen sederhana ini
mengajari saya bahwa mendaki gunung bukan hanya soal kemampuan fisik, tapi juga
kerja sama, kewaspadaan, dan rasa tanggung jawab terhadap sesama.
Tak hanya saat mendaki, perjalanan turun
pun memberi pelajaran tersendiri tentang kehati-hatian dan kerjasama. Berjalan
bersama suami membuat saya merasa lebih aman dan nyaman. Turun dari gunung
menjadi momen yang penuh tantangan tersendiri, bahkan kadang lebih berat
daripada saat mendaki. Pengalaman saya turun dari Gunung Budeg - dengan
perasaan takut dan hampir menangis bukan hanya soal fisik yang lelah, melainkan
juga pergulatan emosional yang dalam, sebuah realita menarik yang banyak
dialami pendaki terutama pemula.
Gunung Budeg, meski tidak setinggi
gunung-gunung besar lain, memiliki jalur turun yang menanjak cukup curam,
berkerikil, dan licin saat melawati tanah berpasir. Saat kaki mulai terasa
lelah dan otot menegang, ketakutan akan terpeleset dan jatuh mulai menghantui.
Jika secara ilmiah, kondisi ini disebut dengan respon stres akut, di mana tubuh
dan pikiran bereaksi terhadap ancaman fisik secara nyata.
Rasa takut yang saya rasakan bukan semata
karena ketidakmampuan fisik, tapi juga karena posisi saya yang berada di
ketinggian dan kondisi jalur yang menuntut kewaspadaan maksimum. Dalam
psikologi pendakian, hal ini dikenal sebagai “fear of falling” yang memacu
adrenalin dan kewaspadaan tinggi, namun jika berlebihan bisa menyebabkan
kecemasan dan penurunan fokus.
Pada titik itu, saya merasakan dorongan
kuat ingin menangis—bukan sekadar karena lelah, tapi karena perasaan takut dan
tidak berdaya. Air mata menjadi pelampiasan emosional yang membantu mengurangi
ketegangan psikologis. Fenomena ini sejalan dengan penelitian psikologi yang
menyatakan bahwa menangis dapat menjadi mekanisme coping alami untuk mengatasi
stres berat.
Namun, pengalaman ini juga membuka wawasan
penting bahwa ketakutan adalah bagian alami dari proses pendakian yang harus
diterima dan dikelola, bukan dihindari. Saya belajar untuk mengambil napas
dalam-dalam, beristirahat sejenak, dan menenangkan diri sebelum melanjutkan
perjalanan secara perlahan dan hati-hati. Membagi perhatian antara langkah kaki
dan pernapasan menjadi kunci untuk menurunkan kecemasan dan menjaga
keseimbangan.
Lebih jauh, pengalaman turun gunung dengan
perasaan seperti ini mengajarkan ketangguhan mental yang esensial dalam
aktivitas pendakian maupun dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari.
Ketakutan dan air mata bukan tanda kelemahan, melainkan sinyal tubuh dan
pikiran yang mengajak kita lebih berhati-hati dan bijak.
Pengalaman ini semakin menguatkan
keyakinan saya bahwa gunung bukan hanya tempat untuk menaklukkan ketinggian,
tapi juga ruang pembelajaran yang dalam tentang hidup, kebersamaan, dan
harmonisasi dengan alam. Mendaki Gunung Budeg mengajarkan saya arti ketangguhan
sejati, yang bukan sekadar kemampuan melewati rintangan, namun juga
kebijaksanaan dalam menjaga diri dan lingkungan.
Komentar
Posting Komentar